Hari H pun tiba, kami berdua sampai di SLB A sekaligus C, tempat Mas Dika biasa observasi untuk bahan skripsinya, Mas Dika ternyata sering membantu mengajar bahasa inggris untuk anak-anak tuna netra disini. Lumayan juga ya, ini mas-mas, ayo silakan yang berinat silakan hubungi saya, nanti saya kenalkan.
Ketika itu ternyata anak-anak kelas satunya sedang beristirahat,Mas Dika mengenalkan diri saya pada mereka, seorang anak perempuan secara spontan meraba telapak tangan saya, tangannya sangat kasar untuk anak seusianya. Dia bertanya pada mas dika “Sopo iki?”—“siapa ini” lalu mas dika menjawab “mbak opie” saya hanya tersenyum,sedikit canggung. Ini pertama kalinya saya berada di situasi yang entah apa judulnya. Inikah cara seorang tuna netra mengenali orang lain? Dengan meraba telapak tangan orang itu? dengan menghafal setiap lekukan-lekukannya? Hebat. Saya takjub. Lalu tiba-tiba seorang gadis kecil yang lebih muda juga datang menghampiri kami, gadis ini langsung lengket dengan Mas Dika,dia merengek padanya, mengajak bermain ayunan. Mas dika mengiyakan dan meninggalkan saya, saya agak kecewa karena mas dika pergi meninggalkan saya yang “asing” ini dengan “gadis” lain. tapi kenyataannya mereka sangat welcome kepada saya, jadi perasaan “asing” dapat segera pergi dari benak saya. Saya kemudian mengamati mereka semua. Ya, mayoritas tuna netra, yang tidak hanya Saya dua orang ibu dan seorang anak lelaki kecil berseragam SD hari Senin (padahal hari itu Sabtu) Saya mengingat beberapa nama mereka setelah beberapa kali memperkenalkan diri, ada si Aliya, anak kelas satu yang pemalu, selalu duduk dipangkuan si ibu. Ada juga Christian,anak kelas satu juga. Anak ini istimewa dan sedikit lebih mencolok dari yang lain. badanya gempal,kulitnya putih,enerjik, ceria dan juga tuna netra tentunya. Setiap orang pasti ingin memeluknya,termasuk saya. Kalau boleh pasti sudah saya bawa pulang dari lima menit yang lalu. Lucunya si chris ini selalu bersama anak lelaki kecil yang berseragam sd hari senin itu, anak ini menurut penglihatan saya sih normal-normal saja,saya lupa bertanya tentang asal-usulnya jadi saya tebak dia ini anak guru yang kebetulan sedang main. Si normal ini selalu mendampingi kemanapun chris berjalan ataupun duduk. ada saja topik yang mereka berdua bicarakan. Benak saya pun nyeletuk “Kalau anak kecil saja bisa menghargai seorang yang disable, mengapa kita yang lebih berumur tidak mencobanya?”
Anak-anak itu nampaknya sangat bahagia ketika mendapatkan permen susu yang saya siapkan dari rumah, kalau saja saya dalam keadaan berjualan, bolehlah dagangan saya dikatakan laris manis. Senjata gula-gula ini rupanya mempan juga untuk si “gadis perebut mas dika”,dan setelah itu saya tahu bahwa gadis ini bernama Ira, anak cantik ini menurut informasi dari mas dika, dulunya bisa melihat. sampai pada usianya lima tahun, kebutaan menimpa dirinya karena penyakit kanker mata. Sungguh membuat hati miris bukan? Anak sekecil itu ditimpali cobaan yang sangat luar biasa. pertanyaan dibenak saya, sempatkah dia melihat pelangi? Atau ingatkah dia bagaimana wajah ibu yang melahirkannya? Kembali, saya ingin memeluk erat anak-anak ini, memberinya rasa aman, atau barangkali memberikan guyonan-guyonan kecil agar mereka tertawa. Anak lain yang tak lepas dari ingatan saya adalah A’an, seorang Tuna netra yang sekaligus juga tuna grahita ringan, Anak 15 tahun ini menawarkan saya pulsa “Aku jualan pulsa loh,mau beli enggak?” begitu celotehnya pada saya dengan wajah jenaka, sayapun terpedaya dan tidak bisa menolak “rayuan” lelaki muda ini. mata kiri A’an agaknya masih bisa digunakan walaupun sangat sulit untuk menggunakannya, layar hand phonenya harus ditempel lekat-lekat terlebih dahulu pada mata kiri, baru ia akan dapat melihat font-font yang tercantum pada hand phone tersebut. saya sendiri membeli pulsa darinya dan juga sekaligus membagi nomor hand phone saya, atas permintaannya sendiri “minta nomor hapemu dong” begitu katanya. Lalu saya iyakan saja, entah digunakan untuk apa, tapi kata mas dika itu adalah bentuk “modus”nya si A’an, dan saya pun terkekeh menanggapinya. Yang tidak kalah menarik lagi adalah Ibnu, si mungil yang tuna grahita. saya tidak tahu berapa usia dan kelas yang didudukinya, sebab setiap kali saya Tanya kamu kelas berapa, dia selalu menjawab “enem”—“enam” dan ketika saya Tanya usia kamu berapa, dia juga akan menjawab dengan angka yang sama “enem”. Pada awalnya, ketika Ibnu baru menyadari kalau mas dika membawa seorang gadis (saya) si kecil itu menggoda mas dika habis-habisan. Kurang lebih, kalau bahasa ABG ini semacam bentuk sorakan “cieeeeeeeeee”. Anak ini mengira saya adalah pacar mas dika. Kami berdua tertawa dibuatnya, bagaimana bisa seorang anak yang umurnya tidak lebih dari sepuluh yang juga penyandang tuna grahita mengerti hal macam berpacaran? Ini sungguh luar biasa menurut saya. Over All, hal-hal baru ini membuat saya bahagia. Tak hanya Ibnu dengan kejenakaannya tapi juga karena A’an dengan,kePD’annya, manisnya Ira dan Mas Dika yang tak terpisahkan, indahnya hubungan Christian dan anak kecil berseragam SD hari Senin dan seluruh anak-anak disana yang jago berjalan tanpa harus melihat. Saya pun percaya bahwa masih banyak orang-orang yang luar biasa diluar sana, yang tidak hanya luar biasa secara fisik, tetapi juga luar biasa hatinya. Semangat mereka yang juga luar biasa membuat saya malu akan keberadaan saya yang bahkan masih suka malas-malasan ikut kegiatan kampus yang jelas-jelas bermanfaat juga bagi saya. Atau susahnya saya kalau harus membuka mata lebar-lebar ketika ada mata kuliah yang membosankan, padahal kemampuan melihat itu adalah nikmat yang sangat luar biasa. Dan ketika otak saya tidak saya gunakan secara maksimal untuk berpikir, padahal masih banyak saudara-saudara kita yang tuna grahita tapi tak henti-hentinya melatih diri. Kunjungan singkat ini membuat saya malu sekaligus bahagia. barangkali moment ini akan saya ceritakan pada orang lain, agar mereka juga mencintai kekhususan, seperti halnya saya.
No comments:
Post a Comment